Selasa, 16 Oktober 2007

Berbagi Wacana

Etnisitas dan Primodialitas

Etnisitas atau kesukubangsaan menurut Frederik Barth ialah :
Suatu jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial dimana setiap etnis memiliki batas-batas sukubangsa melalui simbol-simbol kebudayaannya.

Adapun kajian etnisitas (kesukubangsaan) terfokus pada batas-batas sukubangsa dimana atribut-atribut kesukubangsaan sebagai simbol-simbol kebudayaan, dan mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya dari para pelaku (hubungan di antara para pelaku)

Barth menjelaskan bahwa batas-batas sukubangsa yang terwujud dalam hubungan antar sukubangsa pelaku nampak jelas ditunjukkan, baik terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol.

Primodialitas menurut Clifford Geertz ialah :
Sesuatu yang berakar pada sesuatu yang 'sudah takdirnya', yang terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakan yang penting atau utama yang tidak dapat diperhitungkan secara untuk rugi semata-mata, yang diatributkan pada ikatan dirinya sendiri.
secara sederhana ia mendefinisika lagi, sebuah jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik, yang merupakan sebuah ketentuan dunia.

C.Geertz mendefenisikan primodialitas secara rinci, yaitu;
Perasaan yang dipunyai orang per-orang dalam kehadirannya di dunia, yang dianggap sebagai takdir dimana dia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan kerabat, keyakinan keagamaan, bahasa, adat, sistem-sistem yang ada dalam kebudayaan, yang dirasakan sebagai dunia kehidupannya yang utama dan tidak terpisahkan, baik dalam hal-hal rasional dan keseluruhan rasa yang dipunyainya.

Konsep ini oleh Geertz digunakan untuk memahami proses-proses integrasi nasional yang terjadi di negara-negara yang di bangun berdasarkan prinsip-prinsip ideologi nasional yang rasional yang dihadapkan pada berbagai bentuk penentangan oleh warganya sendiri yang tidak begitu saja menerima nasionalisme dan negara secara utuh, karena adanya ikatan-ikatan atau sentimen-sentimen primodial oleh warganya secara orang per-orangan maupun secara kolektif dan sosial.

Pada artikel Parsudi Suparlan yang berjudul Kesukubangsaan dan Primodialitas: Program Ayam di Desa Mwapi, Timika, Irian Jaya. Ia menjelaskan bahwa ;
Kesukubangsaan atau etnisitas ialah Gejala perorangan yang berupa jati diri yang mengacu pada atribut-atribut sukubangsa dan kebudayn pelakunya yang terungkap dalam interaksi.
Primodialitas ialah Sentimen-sentimen atau perasaan-perasaan dan keyakinan yang utama yang mengacu pada bagaimana para pelakunya melihat dirinya dan dunianya dalam kaitannya dengan keluarga, kerabat, sukubangsa dan kebudayaannya.

Memperingati The Right for Food-Tema Hari Pangan Sedunia, pada Tanggal 16 Oktober 2007

Hak Rakyat atas Pangan
Oleh : Sandrak H Manurung

Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup? Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin? Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan? Pertanyaan-pertanyan ini selalu menggamabarkan akan terpenuhinya hak rakyat Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa atas pangan.

Dunia tahu bahwa Indonesia adalah Negara agraris, tapi banyak tidak tahu bahwa hingga kini negri ini banyak kekurangan pangan, yang ketersediaanya saat ini mengandalkan kekuatan pangan impor, miris.
Pangan adalah makanan, jika tidak diatur ketersediaannya, menimbulkan kelaparan, yang akhirnya bermuara konflik. Untuk mengatur pangan tersebut kita mengenal konsep ketahanan pangan, yang terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari poduksi, distribusi, konsumsi, status gizi dan kontiunitas. Ketahanan pangan harus sampai pada seluruh tingkatan mulai dari tingkatan global, nasional, regional, dan tingkat rumah tangga serta individu.

Intrik pangan impor membuktikan bahwa negri ini kekurangan ketersediaan pangan. Dibanyak daerah kita masih mengetahui ada rakyat yang mengkonsumsi nasi aking, tak jarang, banyak orang rela berbondong-bondong antrian menahan sesak untuk membeli beras murah dan kebutuhan pangan lainya saat digelar pasar murah, meski sudah murah, masih ada juga yang tak mampu membelinya. Terpaksa mengais butiran beras yang berserakan ditanah untuk pemenuhan sejengkal perut. Kondisi ini menggambarkan bahwa Negara agraris ini masih kekurangan ketersediaan pangan dan masih dibalut kemiskinan.

Pahlawan Ketahanan Pangan
Pahlawan ketahanan pangan yang dimaksud disini adalah petani. Mereka sebagai petani merupakan pejuang yang gagah berani, bermandikan keringat demi hidup dan ketersediaan pangan. Tanpa kita sadari, mereka sebagai petani berkontribusi besar atas keberlangsungan hidup kita (nontani).

Kini, pahlawan ketahanan pangan itu dibelenggu oleh sejumlah masalah. Sebagian besar diantara mereka (petani) hidup miskin, mengalami kelaparan dan gizi buruk.
Masalah klasik yang tak luput adalah akses petani terhadap pasar, berubahnya fungsi lahan, regulasi tata ruang pertanian serta petani masih dijadikan obyek pembangunan, selalu dimanfaatkan.

Dapatlah kita renungkan bahwa mereka sebagai petani mulai menanam padi dan menghasilkan jutaan ton gabah yang melebihi kebutuhan konsumsi riil mereka sangat membantu negri ini. Petani yang dianggap sebagai kelas rendah, miskin masih menyubsidi dengan harga rendah yang diterima saat panen. Tak baik kiranya jika kita menoleh tanpa memerhatikan hidup petani.

Mereka yang berprofesi sebagai petanilah memiliki kesempatan besar untuk terpenuhinya hak rakyat atas pangan. Untuk itu, sudah saatnya kita-khususnya pemerintah, membuka akses petani terhadap pasar dan tidak lagi mengisolasi kehidupan petani. Namun, bukan berarti petani itu adalah profesi yang harus dikasihani, tapi mereka sebagai petani adalah pahlawan ketahanan pangan. Pahlawan!

Kedaulatan Pangan
Issu kedaulatan pangan merupakan hal yang tidak asing lagi dan bahkan sudah menjadi topik utama dalam upaya-upaya pengembangan pembangunan yang berkelanjutan. Kedaulatan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup akan tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli pangan), keadilan hingga ke tingkat individu dan tidak terjadinya ketergantungan bahan pangan kepada pihak mana pun.

Dalam hal inilah petani memiliki kedaulatan yang strategis dalam kedaulatan pangan, petani sebagai produsen dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar yang sebagian masih hidup miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.

Terkait dengan isu kedaulatan pangan khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, petani (umumnya di Indonesia) sangat tergantung pada daerah luar. Hal ini memicu tingginya harga bahan pangan di luar daya beli yang berkontribusi terhadap rendahnya asupan gizi masyarakat.

Pemerintah tentu penanggungjawab utama dalam keberlangsungan hidup rakyatnya. Karena itu, peranan pemerintah dalam pembangunan petani khsusunya ketahanan pagan harus menciptakan iklim yang kondusif agar potensi masyarakat tumbuh degan baik, mempekuat dan meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat serta melindungi masyarakat tani dari persaingan yang tidak sehat.

Kita yang tidak masuk dalam struktur pemerintah, tentu tidaklah harus menanti uapaya yang dilakukan pemerintah. Tak heran, lagi-lagi pemerintah akan membuat solusi dengan pangan impor dan bantuan berupa uang. Menurut saya, kita (nonpemerintah) dapat berkontribusi melalui pemberdayaa-pemberdayaan petani, dengan membuka ruang terhadap petani, meningkatkan keterampilan pola tanam petani, menumbuhkan dan mengembangkan potensi lokal yang dapat menambah penghasilan hidup petani.

Negri ini kaya akan sumber daya alam, tersedia sumber daya manusia, namun belum dapat memastikan apakah terpenuhinya hak rakyat atas pangan. Hal ini adalah kerja keras yang semua pihak harus berkontribusi, maka perlu komitmen bersama untuk memajukan pertanian yang menghasilkan kedaulatan pangan.


Sandrak H Manurung
Staf Yayasan SABDA,
Mahasiswa Antropologi FISIP-USU.


=============
NB : Artikel ini telah dimuat diharian Analisa edisi 15 Desember 2007