Selasa, 16 Oktober 2007

Berbagi Wacana

Etnisitas dan Primodialitas

Etnisitas atau kesukubangsaan menurut Frederik Barth ialah :
Suatu jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial dimana setiap etnis memiliki batas-batas sukubangsa melalui simbol-simbol kebudayaannya.

Adapun kajian etnisitas (kesukubangsaan) terfokus pada batas-batas sukubangsa dimana atribut-atribut kesukubangsaan sebagai simbol-simbol kebudayaan, dan mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya dari para pelaku (hubungan di antara para pelaku)

Barth menjelaskan bahwa batas-batas sukubangsa yang terwujud dalam hubungan antar sukubangsa pelaku nampak jelas ditunjukkan, baik terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol.

Primodialitas menurut Clifford Geertz ialah :
Sesuatu yang berakar pada sesuatu yang 'sudah takdirnya', yang terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakan yang penting atau utama yang tidak dapat diperhitungkan secara untuk rugi semata-mata, yang diatributkan pada ikatan dirinya sendiri.
secara sederhana ia mendefinisika lagi, sebuah jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik, yang merupakan sebuah ketentuan dunia.

C.Geertz mendefenisikan primodialitas secara rinci, yaitu;
Perasaan yang dipunyai orang per-orang dalam kehadirannya di dunia, yang dianggap sebagai takdir dimana dia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan kerabat, keyakinan keagamaan, bahasa, adat, sistem-sistem yang ada dalam kebudayaan, yang dirasakan sebagai dunia kehidupannya yang utama dan tidak terpisahkan, baik dalam hal-hal rasional dan keseluruhan rasa yang dipunyainya.

Konsep ini oleh Geertz digunakan untuk memahami proses-proses integrasi nasional yang terjadi di negara-negara yang di bangun berdasarkan prinsip-prinsip ideologi nasional yang rasional yang dihadapkan pada berbagai bentuk penentangan oleh warganya sendiri yang tidak begitu saja menerima nasionalisme dan negara secara utuh, karena adanya ikatan-ikatan atau sentimen-sentimen primodial oleh warganya secara orang per-orangan maupun secara kolektif dan sosial.

Pada artikel Parsudi Suparlan yang berjudul Kesukubangsaan dan Primodialitas: Program Ayam di Desa Mwapi, Timika, Irian Jaya. Ia menjelaskan bahwa ;
Kesukubangsaan atau etnisitas ialah Gejala perorangan yang berupa jati diri yang mengacu pada atribut-atribut sukubangsa dan kebudayn pelakunya yang terungkap dalam interaksi.
Primodialitas ialah Sentimen-sentimen atau perasaan-perasaan dan keyakinan yang utama yang mengacu pada bagaimana para pelakunya melihat dirinya dan dunianya dalam kaitannya dengan keluarga, kerabat, sukubangsa dan kebudayaannya.

Memperingati The Right for Food-Tema Hari Pangan Sedunia, pada Tanggal 16 Oktober 2007

Hak Rakyat atas Pangan
Oleh : Sandrak H Manurung

Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup? Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin? Dapatkah Negri ini memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan? Pertanyaan-pertanyan ini selalu menggamabarkan akan terpenuhinya hak rakyat Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa atas pangan.

Dunia tahu bahwa Indonesia adalah Negara agraris, tapi banyak tidak tahu bahwa hingga kini negri ini banyak kekurangan pangan, yang ketersediaanya saat ini mengandalkan kekuatan pangan impor, miris.
Pangan adalah makanan, jika tidak diatur ketersediaannya, menimbulkan kelaparan, yang akhirnya bermuara konflik. Untuk mengatur pangan tersebut kita mengenal konsep ketahanan pangan, yang terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari poduksi, distribusi, konsumsi, status gizi dan kontiunitas. Ketahanan pangan harus sampai pada seluruh tingkatan mulai dari tingkatan global, nasional, regional, dan tingkat rumah tangga serta individu.

Intrik pangan impor membuktikan bahwa negri ini kekurangan ketersediaan pangan. Dibanyak daerah kita masih mengetahui ada rakyat yang mengkonsumsi nasi aking, tak jarang, banyak orang rela berbondong-bondong antrian menahan sesak untuk membeli beras murah dan kebutuhan pangan lainya saat digelar pasar murah, meski sudah murah, masih ada juga yang tak mampu membelinya. Terpaksa mengais butiran beras yang berserakan ditanah untuk pemenuhan sejengkal perut. Kondisi ini menggambarkan bahwa Negara agraris ini masih kekurangan ketersediaan pangan dan masih dibalut kemiskinan.

Pahlawan Ketahanan Pangan
Pahlawan ketahanan pangan yang dimaksud disini adalah petani. Mereka sebagai petani merupakan pejuang yang gagah berani, bermandikan keringat demi hidup dan ketersediaan pangan. Tanpa kita sadari, mereka sebagai petani berkontribusi besar atas keberlangsungan hidup kita (nontani).

Kini, pahlawan ketahanan pangan itu dibelenggu oleh sejumlah masalah. Sebagian besar diantara mereka (petani) hidup miskin, mengalami kelaparan dan gizi buruk.
Masalah klasik yang tak luput adalah akses petani terhadap pasar, berubahnya fungsi lahan, regulasi tata ruang pertanian serta petani masih dijadikan obyek pembangunan, selalu dimanfaatkan.

Dapatlah kita renungkan bahwa mereka sebagai petani mulai menanam padi dan menghasilkan jutaan ton gabah yang melebihi kebutuhan konsumsi riil mereka sangat membantu negri ini. Petani yang dianggap sebagai kelas rendah, miskin masih menyubsidi dengan harga rendah yang diterima saat panen. Tak baik kiranya jika kita menoleh tanpa memerhatikan hidup petani.

Mereka yang berprofesi sebagai petanilah memiliki kesempatan besar untuk terpenuhinya hak rakyat atas pangan. Untuk itu, sudah saatnya kita-khususnya pemerintah, membuka akses petani terhadap pasar dan tidak lagi mengisolasi kehidupan petani. Namun, bukan berarti petani itu adalah profesi yang harus dikasihani, tapi mereka sebagai petani adalah pahlawan ketahanan pangan. Pahlawan!

Kedaulatan Pangan
Issu kedaulatan pangan merupakan hal yang tidak asing lagi dan bahkan sudah menjadi topik utama dalam upaya-upaya pengembangan pembangunan yang berkelanjutan. Kedaulatan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup akan tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli pangan), keadilan hingga ke tingkat individu dan tidak terjadinya ketergantungan bahan pangan kepada pihak mana pun.

Dalam hal inilah petani memiliki kedaulatan yang strategis dalam kedaulatan pangan, petani sebagai produsen dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar yang sebagian masih hidup miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.

Terkait dengan isu kedaulatan pangan khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, petani (umumnya di Indonesia) sangat tergantung pada daerah luar. Hal ini memicu tingginya harga bahan pangan di luar daya beli yang berkontribusi terhadap rendahnya asupan gizi masyarakat.

Pemerintah tentu penanggungjawab utama dalam keberlangsungan hidup rakyatnya. Karena itu, peranan pemerintah dalam pembangunan petani khsusunya ketahanan pagan harus menciptakan iklim yang kondusif agar potensi masyarakat tumbuh degan baik, mempekuat dan meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat serta melindungi masyarakat tani dari persaingan yang tidak sehat.

Kita yang tidak masuk dalam struktur pemerintah, tentu tidaklah harus menanti uapaya yang dilakukan pemerintah. Tak heran, lagi-lagi pemerintah akan membuat solusi dengan pangan impor dan bantuan berupa uang. Menurut saya, kita (nonpemerintah) dapat berkontribusi melalui pemberdayaa-pemberdayaan petani, dengan membuka ruang terhadap petani, meningkatkan keterampilan pola tanam petani, menumbuhkan dan mengembangkan potensi lokal yang dapat menambah penghasilan hidup petani.

Negri ini kaya akan sumber daya alam, tersedia sumber daya manusia, namun belum dapat memastikan apakah terpenuhinya hak rakyat atas pangan. Hal ini adalah kerja keras yang semua pihak harus berkontribusi, maka perlu komitmen bersama untuk memajukan pertanian yang menghasilkan kedaulatan pangan.


Sandrak H Manurung
Staf Yayasan SABDA,
Mahasiswa Antropologi FISIP-USU.


=============
NB : Artikel ini telah dimuat diharian Analisa edisi 15 Desember 2007

Senin, 15 Oktober 2007

Sekilas tentang dalihan na tolu

Dalihan Na Tolu
Ditinjau dari perspektif Antropologi

Oleh: Sandrak. H. M


Abstrak : Dari sekian banyak identitas dalam suku Batak (Toba), satu konsep yang paling terkenal dan masih dipertahankan di tengah arus globalisasi saat ini adalah konsep “dalihan na tolu”. Dalihan Natolu merupakan sebuah konsep yang dapat menjaga kerukunan masyarakatnya, dengan berdasar pada nilai gotongroyong / kebersamaan, kekerabatan yang dilandasi dengan kasih sayang.
Dalihan na tolu terdiri dari 3 (tiga) unsur yakni; dongan sabutuha, boru, hula-hula. Ketiga unsur ini memiliki fungsi dan peran yang saling berhubungan satu sama lain, ini menjadi landasan interaksi masyarakat dalam menentukan kedudukan, hak dan kewajiban masyarakat serta dapat mengendalikan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi sehari-hari.


Kata kunci : identitas, hubungan kekeluargaan, hak-kewajiban.



I. Pengantar
Indonesia merupakan Negara kepulauan terdiri dari berbagai macam etnik dengan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Adat istiadat bagian dari budaya merupakan modal sosial-kultural dalam menjaga keselarasan hidup bermasyarakat. Keberanekaragaman etnik tersebut terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki adat dan budaya (custom and culture) yang berperan sebagai pedoman/penuntun dalam mengisi kehidupan mereka.

Adat (custom and tradition) dapat dijelaskan sebagai pola atau patron yang menggambarkan kebiasaan masyarakat yang bermukim di wilayah tertentu dalam melakukan interaksi sosial serta menjalankan kehidupan sehari-hari. Adat berisikan aturan-aturan informal, tata cara dan system komunikasi yang bersifat mengikat dan secara keseluruhan dijadikan prinsip dalam menciptakan kehidupan yang teratur bagi warganya.

Diantaranya keberagaman etnik tersebut terdapat etnik Batak (Toba) di Propinsi Sumatera Utara yang memiliki adat-istiadat sebagai potensi bagi kerukunan bermasyarakat. Salah satu adat-istiadat yang dimiliki etnik Batak adalah dalihan na tolu, sebagai falsafah hidup masyarakat yang utuh dan diikat oleh aturan main yang rapi dan selalu ditaati, yang hingga saat ini masih dijalankan oleh masyarakatnya.

Adat-istiadat merupakan tata kelakuan yang diteruskan secara turun temurun kepada generasi mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman dalam bertingkahlaku dalam masyarakat.

Dalam masyarakat batak toba dikenal konsep Dalihan na tolu sebagai unsur budaya. Dalihan Na Tolu ini merupakan sesuatu yang bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga masih diturunkan ke generasi berikutnya. Dalam hal ini, antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan akan mencoba melihat dalihan na tolu dari sudut pandang disiplin ilmu antropologi.

Antropologi adalah disiplin ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia secara holistic. Secara holistic artinya dalam mengkaji manusia itu secara keseluruhan dari aspek kehidupannya.

II. Apa itu dalihan na tolu ?

Dalihan na tolu secara harfiah diartikan sebagai tungku yang terdiri dari tiga penyangga. Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsur) nya terdiri dari 3 (tiga). Ketiga komponen ini disusun dengan besar, tinggi dan jarak yang sama sehingga mempunyai keseimbangan dan saling menopang.

Dalihan na tolu bagi masyarakat Batak (Toba) merupakan struktur yang memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan serta mengatur keselarasan hidup masyarakat Batak. Falsafah hidup dalihan na tolu di lingkungan etnik Batak dikenal dengan adanya sistem marga sesuai dengan adat patrilineal yang dianut masyarakat Batak. System marga ini merupakan identitas orang-orang yang mempunyai garis keturunan yang sama menurut ayah. Sistem marga-marga dalam budaya Batak selain sebagai identitas diri juga berfungsi sebagai pengikat tali persaudaraan yang kuat dalam melakukan interaksi antar sesama.
Dalihan natolu mempunyai aturan yang telah disepakati secara adapt. Salah satu aturan dalihan na tolu adalah dilarang kawin semarga (Incest). Adat dalihan na tolu ini masih bertahan mengikuti zaman. Berkembangnya arus globalisasi tidak menjadi penghalang bagi adat dalihan natolu untuk diterapkan dalam membina hubungan antar sesama, namun berkembangnya arus globalisasi turut berperan dalam mengembangkan adapt dalihan natolu. Dalihan na tolupun berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

III. Dalihan na tolu Sebagai Hubungan Kekeluargaan


Dalihan na tolu merupakan struktur masyarakat Batak (Toba) dan menjadi lambang sistem social. Dalihan na tolu membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok atau komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ketiga kelompok atau komponen tersebut terdiri dari dongan sabutuha, boru, hula-hula.

Dongan sabutuha awalnya adalah orang/kelompok yang sedarah (yang lahir dari perut yang sama) atau jika diterjemahkan perkata adalah teman seperut (lahir dari perus yang sama). Dalam perkembangan selanjutnya dongan sabutuha diidentikkan kepada semua orang yang mempunyai marga yang sama (semarga). Didalam paradatan (acara adat) atau dalam bermasyarakat, dongan sabutuha biasanya (harus) sependapat, sepenanggungan sebagai saudara kandung, baik senang (pesta) dan susah (hutang). Awalnya dongan sabuha tinggal sekampung (huta), sehingga mereka lebih sering bersama-sama dalam mengerjakan urusan adat, maupun sosial, misalnya dalam hal gotong-royong, mengawinkan anak. Meski sekarang sudah menunjukkan pergeseran-pergeseran nilai, terutama bagi yang hidup dikota-kota besar.

Boru bagi masyarakat Batak (Toba) adalah anak perempuan. Boru juga merupakan seorang/kelompok yang dapat atau yang mengambil isteri dari kelompok hula-hula. Adapun yang masuk pada kelompok atau komponen boru antara lain; suami anak perempuan dan anak-anaknya, orang tua suaminya dan dongan sabutuha suaminya. Boru merupakan orang/kelompok yang sangat dicintai, tapi tidak ikut menjadi pewaris orang tuanya (zaman dahulu, jika borunya menikah, akan diberi sebidang tanah (ulos naso olo buruk).

Dalam pesta adat perkawinan (misalnya, perkawinan iparnya-lae atau adik atau abang istri) borulah yang ditugaskan menyayang dagu pihak hula-hula seraya menyampaikan bagian (jambar) menurut letak kedudukan dalam dalihan na tolu.

Hula-hula adalah pihak yang memberi pengantin perempuan. Dongan sabutuha (orang tua penganti perempuan ) menjadi hula-hula bagi pihak pengantin laki-laki. Hula-hula terdiri dari; pihak mertua dan golongan semarganya, paman (tulang-saudara laki-laki dari ibu). Bagi masyarakat Batak (Toba) jika, putri paman (tulang) dinikahi oleh pihak boru merupakan suatu kebanggaan bagi kedua pihak. Hal merupakan perkawinan ideal bagi orang Batak (Toba) dari dulu sampai sekarang. Perkawinan demikian disebut dengan kawin pariban.
Dalam acara adat atau acara lainnya, pihak hula-hula sangat dihormati, mereka dianggap sebagai matahari kemuliaan karena dari merekalah pihak boru mendapat berkah.

IV. Hak Dan Kewajiban Unsur Dalihan Natolu.


Setiap unsur dalam adat Dalihan Na Tolu mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Hak dan kewajiban ini sesuai dengan kedudukan atau status mereka ketika duduk sama dalam menyelesaikan persoalan atau dalam hal pengambilan keputusan. Artinya dongan sabutuha mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dengan boru dan hula-hula. Walaupun secara relative kedudukan ini tidak mutlak disetiap kesempatan, karena bisa saja pada suatu waktu kelompok dongan sabutuha menjadi kelompok boru ataupun kelompok hula-hula dan sebaliknya.
Adapun hak dan kewajiban dalihan na tolu menerapkan pola tritunggal yakni, bahwa pihak hula-hulalah yang memberikan pertimbangan, masukan-masukan, dan nasihat-nasihat, sedangkan pihak dongan tubu atau dongan sabutuha sebagai tuan rumah yang menyadiakan semua keperluan, dan pihak boru yang berperan sebagai parhobas (pelayan atau pekerja).

Dongan Sabutuha
Dongan sabutuha mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dengan dua unsur dalihan na tolu yang lain. Dongan sabutuha (yang lahir dari perut yang sama) mempunyai sifat seperasaan, senasib dan sepenanggungan yang menjadikan dongan sabutuha ini menjadi seia sekata dalam menentukan keputusan dalam berbagai persoalan yang terjadi dalam kegiatan sehari-hari. Dongan sabutuha secara umum mempunyai kewajiban dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul diantara orang-orang yang bersaudara.

Boru
Boru (anak perempuan) terdiri atas suami anak perempuan, anak-anaknya serta orang tua suami dan dongan sabutuha suaminya. Boru ini berhak atas kasih sayang pihak dongan sabutuha yang menjadi hula-hula dari boru dan orang Batak juga pada umumnya mencintai pihak boru. Disamping punya hak, pihak boru juga punya kewajiban dalam mendukung setiap pekerjaan yang dilakukan oleh pihak hula-hulanya.

Hula-hula
Hula-hula (Pemberi Pengantin Perempuan) terdiri atas semua dongan sabutuha orang tua pengantin perempuan. Ini bukan saja hanya pihak mertua dan golongan semarganya, tetapi juga tulang (paman), yakni saudara-saudara ibu


Fungsi Dalihan Na Tolu
Dalihan na tolu mempunyai fungsi dalam menentukan hubungan masyarakat yang berinteraksi dalam artian apakah dia sebagai dongan sabutuha, boru, ataupun hula-hula. Hal ini juga penting dalam mengatur tata komunikasi atau tutur sapa.

Dalihan na tolu juga berfungsi menentukan kedudukan, hak dan kewajiban masyarakat. Fungsi dari ketiga unsur diuraikan seperti dibawah ini;
Pertama, hula-hula berfungsi untuk memberikan petuah, nasihat, bahkan diyakini sebagai pemberi berkat. Hula-hula ini berkedudukan lebih terhormat dari unsur yang lain
Kedua, dongan tubu atau dongan sabutuha berfungsi sebagai tuan rumah yang menyediakan bukan melayani keperluan kegiatan atau acara.
Ketiga, boru berperan sebagai pelayan (parhobas) dalam acara adat maupun acara lainnya (misalnya, gotong-royong).

Fungsi Dalihan Na Tolu juga mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak (Toba). Pengaturan atau pengendalian itu didasarkan pada pola perilaku terhadap tiga unsur dalihan na tolu, yakni somba marhula-hula “hormat kepada pihak pemberi istri”, elek marboru “membujuk kepada pihak penerima istri, dan manat mardongan tubu “hati-hati kepada teman semarga”. Hal inilah yang mengendalikan pola bertingkah laku masyarakat Batak (Toba) sehingga setiap orang Batak bertemu, dia akan mempraktekkan pola bertingkah laku itu.




DAFTAR BACAAN

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaanya.
Jakarta: Penerbit Grafina

Sibarani, Robert. 2005. Peranan Dalihan Na Tolu Etnik Batak Toba Dalam
Merekat Kesatuan Bangsa. hal 42-56. Medan: Media Forkala SU.

Minggu, 14 Oktober 2007

Idul Fitri : Milik Kita Bersama


Oleh : Sandrak H Manurung *



Hari yang dinanti-nantikan akan tiba, setelah satu bulan umat yang beragama Islam berpuasa di siang hari dan kembali seperti biasa makan, minum dan aktivitas lainnya. Idul Fitri, itulah hari yang dinantikan. Moment penting ini bermanfaatkan untuk bertemu sanak-saudara, bermaaf-maafan kepada semua handaitaulan. Tak jarang, banyak orang rela berbodong-bondong menahan sesak dalam perjalanan pulang ke kampung halaman. Yang terpenting Idul Fitri berarti kembali ke kampung dalam hati yang bersih dan ruang rohani.

Masih melekat dalam ingatan saya, ketiga duduk di bangku SMA pada Tahun 2000 di Desa Securai Utara, Pangkalan Berandan, letaknya 85 KM dari Kota Medan, sehari menjelang lebaran, saya diajak teman-teman muslim untuk ikut memeriahkan malam takbiran dengan peserta konvoi keliling kota Pangkalan Berandan sambil memukul-mukul beduk, dan alat-alat yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian. Komunitas Muslim dan Kristen ketika itu berbaur menjadi satu. Hikmah, saya merasakan hari kebesaran itu.
Idul Fitri merupakan hari kebesaran bagi umat yang beragama Islam. Tapi mengingat masyarakat Indonesia yang multikultural, Idul Fitri dapat dijadikan hari kebesaran kita semua-milik kita bersama, tanpa ada rasa tersinggung dan kecurigaan tertentu dari mereka yang muslim. Jika hal ini menjadi bagian dari toleransi kita, merupakan suatu kebahagiaan besar yang di idamkan dalam keragaman agama dan keragaman budaya.
Sikap multikulturalisme itu menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang hanya menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, tetapi multikulturalisme lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan serta meningkatkan solidaritas yang menuntut kita untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas. Untuk itu kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.
Dengan rasa memiliki Idul Fitri-juga hari kebesaran kelompok lain, bagi masyarakat muslim dan non-muslim, kiranya dapat dijadikan sebagai pengikat tali silaturahmi antar umat beragama dan kebudayaannya yang mampu menembus batas-batas sosial antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Momentum penting ini dapat dijadikan bagian dari kita semua dalam merajut hidup berbangsa dan bernegara.

Pendidikan
Harapan-harapan diatas, tentu akan lebih mudah membawa masyarakat kedalam kehidupan yang plural. Peristiwa kekerasan diakhir-akhir ini menjadi catatan penting untuk saling lebih menghargai. Hal ini tak terlepas dari apa yang ditanamkan saat kita masih kecil atau duduk dibangku sekolah. Untuk itu, seyogianya pendidikan kita juga harus mengedapankan kebersamaan dalam pluralitas, toleransi.

Pendidikan, tentulah salah satu alternatif dalam memberikan pemahaman akan multikulturalisme. Pendidikan yang diajarkan diharapkan lebih berperan dalam menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai keberagaman tersebut. Harapannya, metode pendidikan berisikan wacana pluralitas-multikulrutalisme serta para pengajar dapat membina yang diberlakukan dalam pendidikan sekolah, mulai tingkat SD hingga SLTA. Bukan malah mengindoktrinasi dan “mengutuk” perbedaan. Sekolah harus dijadikan tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka dan diskriminasi yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak.

Memang multikulturalisme bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, yaitu “multi” yang berarti plural atau beragam dan “kulturalisme” berisi tentang pemahaman kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki agenda politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Tapi kita tidak bisa pungkiri akan hidup yang telah diberi Maha Kuasa, bahwa kita ini saling berbeda, sehingga kita harus lebih berupaya untuk lebih menghargai dan memastikan bahwa kita ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa. Tentu, dalam menerapkan pemahaman tersebut adalah kerja keras yang harus dilakukan. Tidak bisa hanya satu atau dua komunitas, dan jalan menujunya pun tidak hanya dari segi pendidikan. Banyak upaya yang harus dilakukan.

Kado Idul Fitri
Menurut saya, dalam merayakan hari kebesaran Idul Fitri, dapalah kita ambil hikmah yang menjadi kado-hadiah bagi kita, bahwa kita adalah saudara, satu sama lain saling merajut. Jika kita tidak piawai dalam merajutnya, kita sendiri juga yang akan merasakannya, untuk itu mari kita jadikan milik kita bersama.

Kita sebagai rakyat Indonesia yang pluralistik harus dijadikan modal dalam membangun bangsa, dan bukan sebagai kutukan yang harus dihindari. Kita yang hidup pluralistik bukan sekedar merepresentasikan adanya kemajukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan kita, kamu dan saya, mereka dan kita adalah sama di dalam ruang publik. Mari kita wujudkan multikulturalisme menjadi semacam respons bersama untuk kebijakan baru terhadap keragaman, sebab tidak cukup untuk menggambarkan adanya perbedaan saja, tapi sebesar apapun kamu dan saya, mereka dan kita harus diperlakukan sama oleh Negara dan siapapun.

Akhirnya, dengan segala kekurangan, saya mengucapakan Selamat Idul Fitri, mohon maaf Lahir dan Batin.

* Mahasiswa Antropologi FISIP-USU, Staf Yayasan SABDA, Medan.

Korban Tsunami-Gempa NAD-Nias

Perlu Penanganan Serius Terhadap Pengungsi
Korban Tsunami-Gempa NAD-Nias di Luar Lokasi Bencana


Oleh: Sandrak H Manurung


Secara hukum-hukum HAM dan humaniter international, hak-hak yang menyadang status pengungsi, seperti korban Tsunami-Gempa di NAD - Kep. Nias, disebut juga Pengungsi Internal (IDPs – Internally Displaced Person) telah diatur dalam Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal yang disusun oleh UN-OCHA.

Prinsip-prinsip tersebut mengandung hak-hak yang berkaitan dengan perlindungan IDPs dalam keseluruhan kondisi (hunian, sandang-pangan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dll) menjadi panduan pemerintah dan stakeholders guna mengatasi masalah pengungsi.
Dalam tatanan internasional, masalah pengungsi internal merupakan issue penting yang harus diselesaikan sesegera mungkin, karena kelompok ini merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah.

Beranjak dari hukum tersebut, Negara merupakan penanggungjawab utama dalam mengatasi masalah pengungsi internal, diharapkan dapat menerapkan hak-hak pengungsi internal. Dalam penanganan masalah pengungsi interanal di Sumut, prinsip tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini tampak pada kondisi pengungsi korban tsunami-gempa asal NAD dan Nias yang masih berada di luar lokasi bencana. Mereka tersebar di 5 (lima) Kab/Kota, antara lain; Kab. Langkat, Deli Serdang, Tanah Karo, Kotamadya Binjai dan Medan.

Dua tahun dipengungsian, tak pernah mendapat perhatian yang serius, baik dari pemerintah selaku pihak yang bertanggungjawab ataupun pihak lain yang mengurusi bencana tsunami-gempa. Malah, pernah tidak dianggap sebagai pengungsi korban tsunami-gempa, akibat sudah berakhirnya masa pemulangan oleh pemerintah Sumatera Utara pada Maret 2005 lalu.

Terlantarkan
Dalam pemulihan daerah bencana di NAD dan Nias ratusan lembaga dari berbagai asal dapat dilihat disana, tapi hampir tidak ada lembaga yang melihat atau merespon pengungsi internal yang masih tersisah dan terlantarkan di luar daerah bencana di Sumut. Hal ini mengakibatkan semakin sulitnya mereka untuk mendapatkan akses dalam memenuhi kebutuhan bahkan informasi perkembangan di daerah asal mereka.

Identitas, kesehatan, pangan, sandang, tempat tinggal, dan anak yang ingin bersekolah, menjadi kendala utama yang mereka hadapi setiap hari. Umumnya mereka mengatasi hal tersebut atas bantuan sanak-saudara atau tentangga yang rela menjadi dermawan.
Kendala utama yang mereka hadapi sebenarnya adalah hak-hak mereka yang menjadi korban yang semestinya difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain yang berurusan dengan bencana. Sadar akan hak tersebut, berbagai upaya telah mereka lakukan, misalnya dengan mendatangi pihak pemerintah/stakeholders dan berharap dapat membantu kendala tersebut. Tapi harapan itu berhenti oleh berbagai alasan yang mereka terima. Sebagai contoh, Yasman Bawamanewi (25) pengungsi asal desa Hilizaooto Golambanua I, Kec Lahusa, Kab Nias Selatan, harus menanggung istri, dua anak dan satu mertuanya yang sakit-sakitan dengan upah sebagai buruh toko. Jika mertuanya sakit, dia berusaha ke dinas kesehatan atau dinas sosial Pemprovsu agar mertuanya dibantu mendapatkan pengobatan gratis, alhasil, dia harus mengurangi biaya untuk istri dan anaknya demi membayar pengobatan itu.

Hal ini adalah salah satu masalah dari ratusan masalah pengungsi yang mereka hadapi setiap hari. Masalah penanganan IDPs termasuk akses terhadap bantuan, diskriminasi dalam pemberian bantuan, pemindahan paksa, kekerasan berbasis kelamin dan jender, kehilangan dokumentasi, kekurangan opsi pemulangan atau pemindahan yang aman dan sukarela, dan issue-issue ganti rugi harta kekayaan, kiranya menjadi agenda penting yang harus diselesaikan sesegera mungkin oleh pemerintah.

Peran Pemerintah
Setelah mengakui keberadaan pengungsi dan membuka hati untuk menangani mereka. Terbentuk Tim Penanggulangan Masalah Pengungsi (TPMP) sesuai Surat Keputusan Dinas Sosial Provsu No.465.2/6901.2006. Adapun kerja Tim meliputi Pendataan hingga memverifikasi hasil pendataan serta memfasilitasi masalah-masalah pengungsi. Pendataan yang berlansung pada 14,15,18 Desember 2006 lalu oleh TPMP terdata sebanyak 268 KK atau 1074 Jiwa, dengan rincian 148 KK atau 531 jiwa pengungsi asal Prov Sumut-Nias dan Nisel, dan 120 KK atau 543 Jiwa pengungsi asal NAD.

Selesai pendatan, proses verifikasi berlangsung mulai Februari 2007, hingga saat in belum ada hasil yang maksimal. Malah tidak diperhatikan sama sekali. Verifikasi yang direncanakan paling lama menghabiskan waktu 1 (satu) bulan sejak February 2007 lalu, hingga kini belum selesai juga. Hal ini akibatkan kurangnya koordinasi pemerintah Tk I dan Tk II Pemprovsu dan ke Pemprov NAD, serta tidak ada kebijakan yang kongkret yang mengatur hal tersebut.

Perlu Kebijakan Khusus
Melihat kondisi pengungsi tersebut, menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah sebagai penanggungjawab utama serta stakeholders dengan komitmen dan mandat institusi masing-masing dapat membantu mereka yang menjadi korban, dengan mengeluarkan suatu kebijakan khusus dalam penanganan pengungsi sedetail mungkin, melalui peraturan daerah. Perlunya kebijakan/peraturan tersebut karena selama ini tidak ada kebijakan/peraturan yang jelas dalam menangani pengungsi, sehingga sulit untuk mengkoordinasikan kepada pihak-pihak yang terkait.

Kebijakan tersebut agaknya tidaklah hanya sebagai wacana atau menjadi tumpukan dokumen, tapi harus dapat di implementasikan dan menjadi Peraturan Daerah (perda) pada setiap Propinsi, khususnya di wilayah rawan bencana, seperti Propinsi Sumatera Utara.
Penanganan masalah pengungsi internal ini kiranya menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

* Penulis adalah Koordinator Divisi Infomasi dan Dokumentasi Yayasan Sabda, Medan dan
Mahasiswa Antropologi FISIP-USU.


NB: Artikel ini telah dimuat di Harian Sumupos

Gagasan Untuk Kemiskinan

Gagasan Untuk Kemiskinan


Oleh : Sandrak H Manurung*

“Bagaimana mungkin, anakku bisa belajar, main-main, punya badan yang sehat seperti anak-anak orang kaya itu, untuk cari makannya aja, susah.” Begitulah inti pembicaraan saya seminggu lalu dengan seorang ibu yang mengemis, di simpang lampu merah, Medan.
Kemiskinan. Itulah sebutan kalimat diatas, akrab dan mudah di jumpai pada masyarakat Indonesia. Defenisi dan tolak ukurnya beragam, sesuai kepentingan. Ramuannya pun sudah banyak diracik dari berbagai penjuru belahan seantero dunia. Kurang mujarab! Meski begitu, kemiskinan tetap saja menjadi santapan empuk buat proyek, baik pemerintah maupun pihak lain.
Bicara soal kemiskinan, pada hakekatnya memperjuangkan hidup orang lain dan mensejahterakan martabat orang lain-bangsa, yang menyandang status penduduk miskin. Sejak krisis ekonomi pertengahan tahun 1997 telah meningkat penduduk miskin di Indonesia, pada tahun 2000 sebanyak 28,7 juta, 2001 sebanyak 37,9 juta, 2002 sebanyak 38,4 juta, 2003 sebanyak 27,3 juta, 2004 sebanyak 36,1 juta, 2005 sebanyak 35,3 juta (Kompas, 15/4/2006) dan 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk (BPS,2006).
Hal itu membuat kita bertanya, kenapa Negara kita yang kaya SDA (Sumber Daya Alam), masyarkatnya banyak yang miskin? dan sejak zaman Soekarno kemiskinan belum dapat dientaskan? Pertanyaan itu mengawali tulisan ini untuk memahami kemiskinan.
Meminjam catatan Amich Alhumami, Kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara diri sendiri sesuai taraf hidup kelompok dan tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisik dalam kelompok itu (Kompas, 10/10/2005). Banyak lagi defenisi kemiskinan, indikatornya pun lebih banyak lagi, sesuai kepentingan.
Upaya
Dalam mengentaskan kemiskinan, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah-sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Seperti, 1) Inpres Desa Tertinggal (IDT), 2) Proyek Padat Karya (PPK), 3) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 4) Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Pemberdayaan masyarakat miskin). Secara konseptual upaya tersebut bertujuan bagaimana mensejahterakan penduduk miskin (penghasilan, pemenuhan basic need). Bila dilihat secara hukum humaniter berarti, meningkatkan martabat orang lain, bangsa. Mampu memenuhi kebutuhan sesuai taraf kelompok. Secara praktik, berubah 180 derajat dari tujuan. Agaknya, tidak serius.
Upaya pemerintah dan pihak lain yang bersifat jangka pendek dan panjang, seperti hal diatas, masih sebatas serimonial proyek, tak lebih. Belum mengarah pada bagaimana mempersiapkan untuk generasi mendatang. Terkesan kemiskinan generik-yang diturunkan secara turun temurun.
Yang menjadi persoalan berikut adalah, seberapa besar kesempatan penduduk miskin untuk mengakses hak-haknya sebagai manusia, agar mampu dan berperan dalam berbagai kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, dll, serta menikmati hasil pembangunan. Jujur saja, kesempatan itu tidak pernah dirasakan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial terhadap akses diatas. Apalagi mengontrolnya. Berimbas, meningkatkan penduduk menjadi miskin.


Simpangsiur
Untuk data kemiskinan, saat ini masih simpangsiur. Lihat saja pada 16 Agustus 2006, presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, menyampaikan kelalaian penggunaan data statistik kemiskinan . Pidato tersebut meninggalkan kontroversi, banyak pihak meragukan.
Ketidakpastian dalam menghasilkan data berimplikasi pada penerima manfaat, tak jarang orang miskin seperti hantu-tak jelas. Kedepan, jumlah penduduk miskin terakumulasi dari tahun sebelumnya pada periode kepemimpinan berikut, menebal, menjadi Negara miskin kelas papan atas. Jika hal ini tidak dievaluasi secara komprehensif, akan terulang.
Indikator dan pendataan kemiskinan yang dilakukan secara sentralistik juga merupakan kendala. Ditambah adanya ketimpangan sistem oleh pemerintah akibatnya, sumber kemiskinan tidak teridentifikasi dan jumlah penduduk miskin tidak akurat.
Peran Budaya
Sebagai bangsa yang berbudaya, dalam mengentaskan kemiskinan, harus menjadi prioritas. Sehingga peran budaya amat penting, guna memotivasi dan mengarahkan kondisi simbolik yang mendukung perubahan sosial, Agama, misalnya mempunyai pengaruh besar bagi bangsa ini, untuk itu dapat dijadikan melawan kemiskinan dengan berbagai motivasi, nilai-nilai, simbolik, serta pemahaman lainnya
Kiranya, Indonesia tidak perlu malu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang telah sukses memanfaatkan agama sebagai pendekatan alternatif. Contoh, Negara di Amerika Latin, seperti Brazil dengan gerakan Pantecostal dan CEB-Christian Base Communities (Kompas, 10/8/2005). Jadi agama bukan untuk memiliki kekuasaan sepihak dan keuntungannya yang mengakibatkan kemiskinan.


Solusi
Selama ini kebijakan penanggulangan kemiskinan ternoda atas kepentingan yang berkuasa. Untuk itu perlu upaya kongkret dari semua pihak sesuai mandat institusi masing-masing. Gagasan untuk kemiskinan begitulah kira-kira. Artinya, semua pihak berperan untuk mengakhiri kemiskian-tidak melakukan tindakan merugikan orang lain, dan tidak menjiarahi lagi-mengulang. Selayaknya berkontribusi bagi mereka yang miskin.
Menurut hemat saya, evaluasi terhadap semua itu, perlu tiga arus; pertama, Pemerintah maupun pihak lain dengan komitmen masing-masing dapat membantu mereka dengan memberi fasilitas umum, sosial (pendidikan, kesehatan, rumah ibadah, dan lainnya) yang dapat diakses demi terpenuhinya kebutuhan sosial, jasmani, rohani. Untuk itu, dalam penanganan kemiskinan, agar lebih baik perlu :1) Identifikasi dahulu penyebab kemiskinan, sehingga tahu pola intervensinya, 2) Perlu indikator kemiskinan dari masing-masing daerah, sebab tiap daerah beda karateristik, 3) Penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan, atas kebijakan nasional, tapi harus dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, 4) Waktu pendatan tidak terlalu singkat, 5) Pendataan harus mengedepankan penduduk miskin keluar dari kemiskinan, mungkin efektif jika memakai model mudes (musyawarah desa), sehingga warga dapat menentukan apakah seseorang layak dikatakan miskin, sesuai taraf kelompok, 6) Menggali kontribusi pembangunan disetiap wilayah, model CSR (Coorporate Sosial Responsibility) cukup efektif.
Kedua, perlu revolusi kebijakan pembangunan. Ketiga, sudah saatnya untuk lebih fokus pada pendidikan, kekuatan masyarakat sipil terorganisir, sebagai pengontrol. Tanpa pendidikan, agaknya tidak dapat mengantarkan bangsa ini keluar dari kemiskinan.
Semua hal itu berjalan dengan baik, jika semua pihak sepakat duduk bersama merencanakan hingga mengevaluasi upaya mengentaskan kemiskinan dan di lengkapi aturan-aturan riil-kebijakan. Sesuai dengan 3 (tiga) prinsip GCG (Good Coorporate Government), Fairness, Transparency, Accountability.
Akhirnya, saya yakin dan percaya bahwa kita tetap menjunjung tinggi martabat bangsa dari ancaman kepentingan yang tak bertanggungjawab, mengakibatkan kemiskinan. Untuk itu kemiskinan harus menjadi tugas prioritas kita bersama dan dapat di lihat sebagai pelanggaran hak asasi oleh negara atau pihak lain terhadap hak sipil politik serta mengabaikan pelanggaran hak asasi akibat ketidakadilan/diskriminatif.

* Staf Yayasan SABDA, Medan dan
Mahasiswa Antropologi Sosial, FISIP-USU.

========

NB : Artikel ini telah dimuat di Harian Sumutpos