Minggu, 14 Oktober 2007

Korban Tsunami-Gempa NAD-Nias

Perlu Penanganan Serius Terhadap Pengungsi
Korban Tsunami-Gempa NAD-Nias di Luar Lokasi Bencana


Oleh: Sandrak H Manurung


Secara hukum-hukum HAM dan humaniter international, hak-hak yang menyadang status pengungsi, seperti korban Tsunami-Gempa di NAD - Kep. Nias, disebut juga Pengungsi Internal (IDPs – Internally Displaced Person) telah diatur dalam Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal yang disusun oleh UN-OCHA.

Prinsip-prinsip tersebut mengandung hak-hak yang berkaitan dengan perlindungan IDPs dalam keseluruhan kondisi (hunian, sandang-pangan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dll) menjadi panduan pemerintah dan stakeholders guna mengatasi masalah pengungsi.
Dalam tatanan internasional, masalah pengungsi internal merupakan issue penting yang harus diselesaikan sesegera mungkin, karena kelompok ini merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah.

Beranjak dari hukum tersebut, Negara merupakan penanggungjawab utama dalam mengatasi masalah pengungsi internal, diharapkan dapat menerapkan hak-hak pengungsi internal. Dalam penanganan masalah pengungsi interanal di Sumut, prinsip tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini tampak pada kondisi pengungsi korban tsunami-gempa asal NAD dan Nias yang masih berada di luar lokasi bencana. Mereka tersebar di 5 (lima) Kab/Kota, antara lain; Kab. Langkat, Deli Serdang, Tanah Karo, Kotamadya Binjai dan Medan.

Dua tahun dipengungsian, tak pernah mendapat perhatian yang serius, baik dari pemerintah selaku pihak yang bertanggungjawab ataupun pihak lain yang mengurusi bencana tsunami-gempa. Malah, pernah tidak dianggap sebagai pengungsi korban tsunami-gempa, akibat sudah berakhirnya masa pemulangan oleh pemerintah Sumatera Utara pada Maret 2005 lalu.

Terlantarkan
Dalam pemulihan daerah bencana di NAD dan Nias ratusan lembaga dari berbagai asal dapat dilihat disana, tapi hampir tidak ada lembaga yang melihat atau merespon pengungsi internal yang masih tersisah dan terlantarkan di luar daerah bencana di Sumut. Hal ini mengakibatkan semakin sulitnya mereka untuk mendapatkan akses dalam memenuhi kebutuhan bahkan informasi perkembangan di daerah asal mereka.

Identitas, kesehatan, pangan, sandang, tempat tinggal, dan anak yang ingin bersekolah, menjadi kendala utama yang mereka hadapi setiap hari. Umumnya mereka mengatasi hal tersebut atas bantuan sanak-saudara atau tentangga yang rela menjadi dermawan.
Kendala utama yang mereka hadapi sebenarnya adalah hak-hak mereka yang menjadi korban yang semestinya difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain yang berurusan dengan bencana. Sadar akan hak tersebut, berbagai upaya telah mereka lakukan, misalnya dengan mendatangi pihak pemerintah/stakeholders dan berharap dapat membantu kendala tersebut. Tapi harapan itu berhenti oleh berbagai alasan yang mereka terima. Sebagai contoh, Yasman Bawamanewi (25) pengungsi asal desa Hilizaooto Golambanua I, Kec Lahusa, Kab Nias Selatan, harus menanggung istri, dua anak dan satu mertuanya yang sakit-sakitan dengan upah sebagai buruh toko. Jika mertuanya sakit, dia berusaha ke dinas kesehatan atau dinas sosial Pemprovsu agar mertuanya dibantu mendapatkan pengobatan gratis, alhasil, dia harus mengurangi biaya untuk istri dan anaknya demi membayar pengobatan itu.

Hal ini adalah salah satu masalah dari ratusan masalah pengungsi yang mereka hadapi setiap hari. Masalah penanganan IDPs termasuk akses terhadap bantuan, diskriminasi dalam pemberian bantuan, pemindahan paksa, kekerasan berbasis kelamin dan jender, kehilangan dokumentasi, kekurangan opsi pemulangan atau pemindahan yang aman dan sukarela, dan issue-issue ganti rugi harta kekayaan, kiranya menjadi agenda penting yang harus diselesaikan sesegera mungkin oleh pemerintah.

Peran Pemerintah
Setelah mengakui keberadaan pengungsi dan membuka hati untuk menangani mereka. Terbentuk Tim Penanggulangan Masalah Pengungsi (TPMP) sesuai Surat Keputusan Dinas Sosial Provsu No.465.2/6901.2006. Adapun kerja Tim meliputi Pendataan hingga memverifikasi hasil pendataan serta memfasilitasi masalah-masalah pengungsi. Pendataan yang berlansung pada 14,15,18 Desember 2006 lalu oleh TPMP terdata sebanyak 268 KK atau 1074 Jiwa, dengan rincian 148 KK atau 531 jiwa pengungsi asal Prov Sumut-Nias dan Nisel, dan 120 KK atau 543 Jiwa pengungsi asal NAD.

Selesai pendatan, proses verifikasi berlangsung mulai Februari 2007, hingga saat in belum ada hasil yang maksimal. Malah tidak diperhatikan sama sekali. Verifikasi yang direncanakan paling lama menghabiskan waktu 1 (satu) bulan sejak February 2007 lalu, hingga kini belum selesai juga. Hal ini akibatkan kurangnya koordinasi pemerintah Tk I dan Tk II Pemprovsu dan ke Pemprov NAD, serta tidak ada kebijakan yang kongkret yang mengatur hal tersebut.

Perlu Kebijakan Khusus
Melihat kondisi pengungsi tersebut, menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah sebagai penanggungjawab utama serta stakeholders dengan komitmen dan mandat institusi masing-masing dapat membantu mereka yang menjadi korban, dengan mengeluarkan suatu kebijakan khusus dalam penanganan pengungsi sedetail mungkin, melalui peraturan daerah. Perlunya kebijakan/peraturan tersebut karena selama ini tidak ada kebijakan/peraturan yang jelas dalam menangani pengungsi, sehingga sulit untuk mengkoordinasikan kepada pihak-pihak yang terkait.

Kebijakan tersebut agaknya tidaklah hanya sebagai wacana atau menjadi tumpukan dokumen, tapi harus dapat di implementasikan dan menjadi Peraturan Daerah (perda) pada setiap Propinsi, khususnya di wilayah rawan bencana, seperti Propinsi Sumatera Utara.
Penanganan masalah pengungsi internal ini kiranya menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

* Penulis adalah Koordinator Divisi Infomasi dan Dokumentasi Yayasan Sabda, Medan dan
Mahasiswa Antropologi FISIP-USU.


NB: Artikel ini telah dimuat di Harian Sumupos

Tidak ada komentar: