Minggu, 14 Oktober 2007

Gagasan Untuk Kemiskinan

Gagasan Untuk Kemiskinan


Oleh : Sandrak H Manurung*

“Bagaimana mungkin, anakku bisa belajar, main-main, punya badan yang sehat seperti anak-anak orang kaya itu, untuk cari makannya aja, susah.” Begitulah inti pembicaraan saya seminggu lalu dengan seorang ibu yang mengemis, di simpang lampu merah, Medan.
Kemiskinan. Itulah sebutan kalimat diatas, akrab dan mudah di jumpai pada masyarakat Indonesia. Defenisi dan tolak ukurnya beragam, sesuai kepentingan. Ramuannya pun sudah banyak diracik dari berbagai penjuru belahan seantero dunia. Kurang mujarab! Meski begitu, kemiskinan tetap saja menjadi santapan empuk buat proyek, baik pemerintah maupun pihak lain.
Bicara soal kemiskinan, pada hakekatnya memperjuangkan hidup orang lain dan mensejahterakan martabat orang lain-bangsa, yang menyandang status penduduk miskin. Sejak krisis ekonomi pertengahan tahun 1997 telah meningkat penduduk miskin di Indonesia, pada tahun 2000 sebanyak 28,7 juta, 2001 sebanyak 37,9 juta, 2002 sebanyak 38,4 juta, 2003 sebanyak 27,3 juta, 2004 sebanyak 36,1 juta, 2005 sebanyak 35,3 juta (Kompas, 15/4/2006) dan 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk (BPS,2006).
Hal itu membuat kita bertanya, kenapa Negara kita yang kaya SDA (Sumber Daya Alam), masyarkatnya banyak yang miskin? dan sejak zaman Soekarno kemiskinan belum dapat dientaskan? Pertanyaan itu mengawali tulisan ini untuk memahami kemiskinan.
Meminjam catatan Amich Alhumami, Kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara diri sendiri sesuai taraf hidup kelompok dan tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisik dalam kelompok itu (Kompas, 10/10/2005). Banyak lagi defenisi kemiskinan, indikatornya pun lebih banyak lagi, sesuai kepentingan.
Upaya
Dalam mengentaskan kemiskinan, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah-sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Seperti, 1) Inpres Desa Tertinggal (IDT), 2) Proyek Padat Karya (PPK), 3) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 4) Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Pemberdayaan masyarakat miskin). Secara konseptual upaya tersebut bertujuan bagaimana mensejahterakan penduduk miskin (penghasilan, pemenuhan basic need). Bila dilihat secara hukum humaniter berarti, meningkatkan martabat orang lain, bangsa. Mampu memenuhi kebutuhan sesuai taraf kelompok. Secara praktik, berubah 180 derajat dari tujuan. Agaknya, tidak serius.
Upaya pemerintah dan pihak lain yang bersifat jangka pendek dan panjang, seperti hal diatas, masih sebatas serimonial proyek, tak lebih. Belum mengarah pada bagaimana mempersiapkan untuk generasi mendatang. Terkesan kemiskinan generik-yang diturunkan secara turun temurun.
Yang menjadi persoalan berikut adalah, seberapa besar kesempatan penduduk miskin untuk mengakses hak-haknya sebagai manusia, agar mampu dan berperan dalam berbagai kegiatan ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, dll, serta menikmati hasil pembangunan. Jujur saja, kesempatan itu tidak pernah dirasakan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial terhadap akses diatas. Apalagi mengontrolnya. Berimbas, meningkatkan penduduk menjadi miskin.


Simpangsiur
Untuk data kemiskinan, saat ini masih simpangsiur. Lihat saja pada 16 Agustus 2006, presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, menyampaikan kelalaian penggunaan data statistik kemiskinan . Pidato tersebut meninggalkan kontroversi, banyak pihak meragukan.
Ketidakpastian dalam menghasilkan data berimplikasi pada penerima manfaat, tak jarang orang miskin seperti hantu-tak jelas. Kedepan, jumlah penduduk miskin terakumulasi dari tahun sebelumnya pada periode kepemimpinan berikut, menebal, menjadi Negara miskin kelas papan atas. Jika hal ini tidak dievaluasi secara komprehensif, akan terulang.
Indikator dan pendataan kemiskinan yang dilakukan secara sentralistik juga merupakan kendala. Ditambah adanya ketimpangan sistem oleh pemerintah akibatnya, sumber kemiskinan tidak teridentifikasi dan jumlah penduduk miskin tidak akurat.
Peran Budaya
Sebagai bangsa yang berbudaya, dalam mengentaskan kemiskinan, harus menjadi prioritas. Sehingga peran budaya amat penting, guna memotivasi dan mengarahkan kondisi simbolik yang mendukung perubahan sosial, Agama, misalnya mempunyai pengaruh besar bagi bangsa ini, untuk itu dapat dijadikan melawan kemiskinan dengan berbagai motivasi, nilai-nilai, simbolik, serta pemahaman lainnya
Kiranya, Indonesia tidak perlu malu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang telah sukses memanfaatkan agama sebagai pendekatan alternatif. Contoh, Negara di Amerika Latin, seperti Brazil dengan gerakan Pantecostal dan CEB-Christian Base Communities (Kompas, 10/8/2005). Jadi agama bukan untuk memiliki kekuasaan sepihak dan keuntungannya yang mengakibatkan kemiskinan.


Solusi
Selama ini kebijakan penanggulangan kemiskinan ternoda atas kepentingan yang berkuasa. Untuk itu perlu upaya kongkret dari semua pihak sesuai mandat institusi masing-masing. Gagasan untuk kemiskinan begitulah kira-kira. Artinya, semua pihak berperan untuk mengakhiri kemiskian-tidak melakukan tindakan merugikan orang lain, dan tidak menjiarahi lagi-mengulang. Selayaknya berkontribusi bagi mereka yang miskin.
Menurut hemat saya, evaluasi terhadap semua itu, perlu tiga arus; pertama, Pemerintah maupun pihak lain dengan komitmen masing-masing dapat membantu mereka dengan memberi fasilitas umum, sosial (pendidikan, kesehatan, rumah ibadah, dan lainnya) yang dapat diakses demi terpenuhinya kebutuhan sosial, jasmani, rohani. Untuk itu, dalam penanganan kemiskinan, agar lebih baik perlu :1) Identifikasi dahulu penyebab kemiskinan, sehingga tahu pola intervensinya, 2) Perlu indikator kemiskinan dari masing-masing daerah, sebab tiap daerah beda karateristik, 3) Penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan, atas kebijakan nasional, tapi harus dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, 4) Waktu pendatan tidak terlalu singkat, 5) Pendataan harus mengedepankan penduduk miskin keluar dari kemiskinan, mungkin efektif jika memakai model mudes (musyawarah desa), sehingga warga dapat menentukan apakah seseorang layak dikatakan miskin, sesuai taraf kelompok, 6) Menggali kontribusi pembangunan disetiap wilayah, model CSR (Coorporate Sosial Responsibility) cukup efektif.
Kedua, perlu revolusi kebijakan pembangunan. Ketiga, sudah saatnya untuk lebih fokus pada pendidikan, kekuatan masyarakat sipil terorganisir, sebagai pengontrol. Tanpa pendidikan, agaknya tidak dapat mengantarkan bangsa ini keluar dari kemiskinan.
Semua hal itu berjalan dengan baik, jika semua pihak sepakat duduk bersama merencanakan hingga mengevaluasi upaya mengentaskan kemiskinan dan di lengkapi aturan-aturan riil-kebijakan. Sesuai dengan 3 (tiga) prinsip GCG (Good Coorporate Government), Fairness, Transparency, Accountability.
Akhirnya, saya yakin dan percaya bahwa kita tetap menjunjung tinggi martabat bangsa dari ancaman kepentingan yang tak bertanggungjawab, mengakibatkan kemiskinan. Untuk itu kemiskinan harus menjadi tugas prioritas kita bersama dan dapat di lihat sebagai pelanggaran hak asasi oleh negara atau pihak lain terhadap hak sipil politik serta mengabaikan pelanggaran hak asasi akibat ketidakadilan/diskriminatif.

* Staf Yayasan SABDA, Medan dan
Mahasiswa Antropologi Sosial, FISIP-USU.

========

NB : Artikel ini telah dimuat di Harian Sumutpos

Tidak ada komentar: